Keberanian itu [tidak pernah] ada?
I am in between crossroads,
When I look at my right side, there’s not much different than what’s on my left side,
The only difference is either way I look, I still fear the choice that I am supposed to make…
Seorang teman baik gw dulu pernah bilang kalau:
“Hidup itu pilihan, Ries.” Titik. No further explanation.
Ya, emang enggak perlu dijelasin lebih rinci juga, karena kalau mau dibreak-down, akhirnya malah memperlambat proses pengambilan keputusan. Kata orang (siapa ya yang mulai dengan frase ini?,anyway), semakin bertambah umur, semakin jelas pilihan hidup kita. Makanya, kalau mau jadi pemimpi di masa kecil, silahkan, pemberontak di masa remaja, udah ada alurnya. Dengan harapan, ketika dewasa kita bisa melihat lebih jelas apa yang jadi pilihan hidup kita.
Turns out, things were much simpler before we reach adulthood.
Tanpa mencoba menghantui atau menakuti konsep dari “dewasa”, tapi gw ngerasa semakin kesini kok ada saja cerita dan kondisi dimana mengambil sebuah (ya satu doang!) pilihan dan keputusan menjadi hal yang sulit. Dan ujung-ujungnya, kita jadi diapit sama situasi yang membuat kita gerah, geram, gila deh!
Contoh paling sederhana dari situasi kehidupan cinta manusia yang tidak sesederhana bikin simpul tali sepatu:
Mari kita coba re-cap, sudah seberapa sering kamu mendengar, melihat, menimbang, menganalisa, dan juga [mungkin] dimintai pendapat atas kehidupan percintaan orang-orang terdekat kamu? I bet, plenty of time [kecuali kalau kamu orang yang sangat apatis, buta cinta dan anti social!]. Dan, dari sekian banyak cerita cinta ada enggak satu cerita yang bisa bikin kamu desperate? The possibilities are, desperately clueless in giving more advices or desperately sick from jealousy?
In my case, it would be the first possibility.
Gw berada di ujung tanduk of giving up and being so completely clueless dengan satu cerita cinta one of my dearest friend…Bohong, kalau gw enggak mau dia bahagia. Gw mau banget!Dan cuma itu dasar dari waktu-waktu gw untuk cerita-cerita dia. A HAPPY ENDING. But, life ‘aint the fairy Disney’s princesses tales. So does a love life. Ada yang emang gampang bahagia, ada juga yang harus ‘keseleo’ dulu sebelum berhasil sampai ke finish line [kok terdengar seperti mau metong ya daripada cerita cinta yang bahagia?ooh well..].
Dearest friend: “… I don’t know what else am I supposed to do with this relationship, Ries?”
Riesa: “Do you know what you want? Do you know where are you going with this relationship?”
Dearest friend: “I know what I want, that is at the beginning of the relationship. But now, I am not sure.”
Riesa: “Why so?”
Dearest friend: “Because, he leaves it in a blur. It’s like he leaves me to cross the road and I am not sure whether I have to look right or left first before I cross.”
Riesa: “Lah dia dimana pas lo mau nyebrang?”
Dearest friend: “Gak tahu, Ries.”
Riesa: -speechless-
Bukan sekali ini gw bingung harus menanggapi apa. I have given some advices before, [hopefully] objectively, karena bagaimana pun juga one’s life is his/her own call, not merely ours – even if we claim to be their best buddies. Ditambah dengan kenyataan belum tentu yang kita pikir benar, berarti benar buat orang lain juga. Dan sekarang, gw ‘ gagu’. Gw gak tahu harus merespon apa atau bereaksi bagaimana. Gw ngerasa jenis pendapat dari mulai yang standar (“sabar, bla, bla..) sampe sefrontal mungkin – dan pastinya tidak objektif, sudah gw sampaikan. Kok, ya ceritanya bersuara sama?
Sempat terlintas, apa mungkin this time around I should just sit nicely and listen? And the horror hits me, how about while I play a role as [supposedly] a good-best friend slash listener, ada ketakutan kalau gw sampai melihat sahabat gw ‘keseleo dan jatuh’ dengan hubungan percintaannya. Gak berani gw!!! I have no heart to even imagine that happening…bukan mau terdengar berlebihan atau pesimis, tapi ya gimana…apa boleh gw berpendapat “Don’t you have any guts in telling what you really want and how things have been really confusing for you, and that you are bloody unhappy?”. Kalaupun sampai ada keberanian untuk gw ‘berteriak’ seperti itu, apakah sahabat gw punya keberanian untuk ‘berteriak’ yang sama?
So, I guess whichever way you look, it’s not about what choice we make,
At the end of the day, it’s all about the courage.
Jadi, pilihannya adalah: keberanian itu ada atau tidak pernah ada?
-rie
When I look at my right side, there’s not much different than what’s on my left side,
The only difference is either way I look, I still fear the choice that I am supposed to make…
Seorang teman baik gw dulu pernah bilang kalau:
“Hidup itu pilihan, Ries.” Titik. No further explanation.
Ya, emang enggak perlu dijelasin lebih rinci juga, karena kalau mau dibreak-down, akhirnya malah memperlambat proses pengambilan keputusan. Kata orang (siapa ya yang mulai dengan frase ini?,anyway), semakin bertambah umur, semakin jelas pilihan hidup kita. Makanya, kalau mau jadi pemimpi di masa kecil, silahkan, pemberontak di masa remaja, udah ada alurnya. Dengan harapan, ketika dewasa kita bisa melihat lebih jelas apa yang jadi pilihan hidup kita.
Turns out, things were much simpler before we reach adulthood.
Tanpa mencoba menghantui atau menakuti konsep dari “dewasa”, tapi gw ngerasa semakin kesini kok ada saja cerita dan kondisi dimana mengambil sebuah (ya satu doang!) pilihan dan keputusan menjadi hal yang sulit. Dan ujung-ujungnya, kita jadi diapit sama situasi yang membuat kita gerah, geram, gila deh!
Contoh paling sederhana dari situasi kehidupan cinta manusia yang tidak sesederhana bikin simpul tali sepatu:
Mari kita coba re-cap, sudah seberapa sering kamu mendengar, melihat, menimbang, menganalisa, dan juga [mungkin] dimintai pendapat atas kehidupan percintaan orang-orang terdekat kamu? I bet, plenty of time [kecuali kalau kamu orang yang sangat apatis, buta cinta dan anti social!]. Dan, dari sekian banyak cerita cinta ada enggak satu cerita yang bisa bikin kamu desperate? The possibilities are, desperately clueless in giving more advices or desperately sick from jealousy?
In my case, it would be the first possibility.
Gw berada di ujung tanduk of giving up and being so completely clueless dengan satu cerita cinta one of my dearest friend…Bohong, kalau gw enggak mau dia bahagia. Gw mau banget!Dan cuma itu dasar dari waktu-waktu gw untuk cerita-cerita dia. A HAPPY ENDING. But, life ‘aint the fairy Disney’s princesses tales. So does a love life. Ada yang emang gampang bahagia, ada juga yang harus ‘keseleo’ dulu sebelum berhasil sampai ke finish line [kok terdengar seperti mau metong ya daripada cerita cinta yang bahagia?ooh well..].
Dearest friend: “… I don’t know what else am I supposed to do with this relationship, Ries?”
Riesa: “Do you know what you want? Do you know where are you going with this relationship?”
Dearest friend: “I know what I want, that is at the beginning of the relationship. But now, I am not sure.”
Riesa: “Why so?”
Dearest friend: “Because, he leaves it in a blur. It’s like he leaves me to cross the road and I am not sure whether I have to look right or left first before I cross.”
Riesa: “Lah dia dimana pas lo mau nyebrang?”
Dearest friend: “Gak tahu, Ries.”
Riesa: -speechless-
Bukan sekali ini gw bingung harus menanggapi apa. I have given some advices before, [hopefully] objectively, karena bagaimana pun juga one’s life is his/her own call, not merely ours – even if we claim to be their best buddies. Ditambah dengan kenyataan belum tentu yang kita pikir benar, berarti benar buat orang lain juga. Dan sekarang, gw ‘ gagu’. Gw gak tahu harus merespon apa atau bereaksi bagaimana. Gw ngerasa jenis pendapat dari mulai yang standar (“sabar, bla, bla..) sampe sefrontal mungkin – dan pastinya tidak objektif, sudah gw sampaikan. Kok, ya ceritanya bersuara sama?
Sempat terlintas, apa mungkin this time around I should just sit nicely and listen? And the horror hits me, how about while I play a role as [supposedly] a good-best friend slash listener, ada ketakutan kalau gw sampai melihat sahabat gw ‘keseleo dan jatuh’ dengan hubungan percintaannya. Gak berani gw!!! I have no heart to even imagine that happening…bukan mau terdengar berlebihan atau pesimis, tapi ya gimana…apa boleh gw berpendapat “Don’t you have any guts in telling what you really want and how things have been really confusing for you, and that you are bloody unhappy?”. Kalaupun sampai ada keberanian untuk gw ‘berteriak’ seperti itu, apakah sahabat gw punya keberanian untuk ‘berteriak’ yang sama?
So, I guess whichever way you look, it’s not about what choice we make,
At the end of the day, it’s all about the courage.
Jadi, pilihannya adalah: keberanian itu ada atau tidak pernah ada?
-rie