AND THE STORY IS....

Ini cuma cerita, You may read it, You may not, yang pasti Aku cuma punya cerita

10 April 2009

Keberanian itu [tidak pernah] ada?

I am in between crossroads,
When I look at my right side, there’s not much different than what’s on my left side,
The only difference is either way I look, I still fear the choice that I am supposed to make…



Seorang teman baik gw dulu pernah bilang kalau:
“Hidup itu pilihan, Ries.” Titik. No further explanation.
Ya, emang enggak perlu dijelasin lebih rinci juga, karena kalau mau dibreak-down, akhirnya malah memperlambat proses pengambilan keputusan. Kata orang (siapa ya yang mulai dengan frase ini?,anyway), semakin bertambah umur, semakin jelas pilihan hidup kita. Makanya, kalau mau jadi pemimpi di masa kecil, silahkan, pemberontak di masa remaja, udah ada alurnya. Dengan harapan, ketika dewasa kita bisa melihat lebih jelas apa yang jadi pilihan hidup kita.

Turns out, things were much simpler before we reach adulthood.

Tanpa mencoba menghantui atau menakuti konsep dari “dewasa”, tapi gw ngerasa semakin kesini kok ada saja cerita dan kondisi dimana mengambil sebuah (ya satu doang!) pilihan dan keputusan menjadi hal yang sulit. Dan ujung-ujungnya, kita jadi diapit sama situasi yang membuat kita gerah, geram, gila deh!

Contoh paling sederhana dari situasi kehidupan cinta manusia yang tidak sesederhana bikin simpul tali sepatu:

Mari kita coba re-cap, sudah seberapa sering kamu mendengar, melihat, menimbang, menganalisa, dan juga [mungkin] dimintai pendapat atas kehidupan percintaan orang-orang terdekat kamu? I bet, plenty of time [kecuali kalau kamu orang yang sangat apatis, buta cinta dan anti social!]. Dan, dari sekian banyak cerita cinta ada enggak satu cerita yang bisa bikin kamu desperate? The possibilities are, desperately clueless in giving more advices or desperately sick from jealousy?

In my case, it would be the first possibility.

Gw berada di ujung tanduk of giving up and being so completely clueless dengan satu cerita cinta one of my dearest friend…Bohong, kalau gw enggak mau dia bahagia. Gw mau banget!Dan cuma itu dasar dari waktu-waktu gw untuk cerita-cerita dia. A HAPPY ENDING. But, life ‘aint the fairy Disney’s princesses tales. So does a love life. Ada yang emang gampang bahagia, ada juga yang harus ‘keseleo’ dulu sebelum berhasil sampai ke finish line [kok terdengar seperti mau metong ya daripada cerita cinta yang bahagia?ooh well..].

Dearest friend: “… I don’t know what else am I supposed to do with this relationship, Ries?”

Riesa: “Do you know what you want? Do you know where are you going with this relationship?”

Dearest friend: “I know what I want, that is at the beginning of the relationship. But now, I am not sure.”

Riesa: “Why so?”

Dearest friend: “Because, he leaves it in a blur. It’s like he leaves me to cross the road and I am not sure whether I have to look right or left first before I cross.”

Riesa: “Lah dia dimana pas lo mau nyebrang?”

Dearest friend: “Gak tahu, Ries.”

Riesa: -speechless-


Bukan sekali ini gw bingung harus menanggapi apa. I have given some advices before, [hopefully] objectively, karena bagaimana pun juga one’s life is his/her own call, not merely ours – even if we claim to be their best buddies. Ditambah dengan kenyataan belum tentu yang kita pikir benar, berarti benar buat orang lain juga. Dan sekarang, gw ‘ gagu’. Gw gak tahu harus merespon apa atau bereaksi bagaimana. Gw ngerasa jenis pendapat dari mulai yang standar (“sabar, bla, bla..) sampe sefrontal mungkin – dan pastinya tidak objektif, sudah gw sampaikan. Kok, ya ceritanya bersuara sama?

Sempat terlintas, apa mungkin this time around I should just sit nicely and listen? And the horror hits me, how about while I play a role as [supposedly] a good-best friend slash listener, ada ketakutan kalau gw sampai melihat sahabat gw ‘keseleo dan jatuh’ dengan hubungan percintaannya. Gak berani gw!!! I have no heart to even imagine that happening…bukan mau terdengar berlebihan atau pesimis, tapi ya gimana…apa boleh gw berpendapat “Don’t you have any guts in telling what you really want and how things have been really confusing for you, and that you are bloody unhappy?”. Kalaupun sampai ada keberanian untuk gw ‘berteriak’ seperti itu, apakah sahabat gw punya keberanian untuk ‘berteriak’ yang sama?

So, I guess whichever way you look, it’s not about what choice we make,
At the end of the day, it’s all about the courage.


Jadi, pilihannya adalah: keberanian itu ada atau tidak pernah ada?

-rie

"APA APAAN INI?!?!"

Beberapa hari terakhir ini, gw mendapati diri gw 'mencoba' menikmati acara-acara suguhan televisi lokal negeri kita tercinta, Indonesia raya. A bit of the rundown >> Sinetron:skip and lots of them too, News: stayed for 30 mins and then changed channel, Cooking shows: cuma nyatet resepnya aja and then skip, Talk Shows: only Kick Andy yg bisa gw nikmatin, last but not least; Reality TV shows: hmm....

Sebenarnya, gw sadar (dan yakin semua orang sudah menyadarinya juga) kalau reality TV shows sudah menjamur dan menjadi 'tren' sejak, mm.. let me see, 6 to 7 years ago. Seinget gw, awal mula reality TV shows jadi bahan pembicaraan banyak orang adalah ketika sebuah reality shows bernama "SURVIVOR" mulai ditayangkan di stasiun TV, CBS, USA selama 60 menit pada tahun 2000. Everyone seemed to be hooked by it. The plot, the games, the conflicts, etc. And suddenly, the media industry was all about Reality TV shows, including in Indonesia. Dari mulai konsep yang bantuin 'nyatain' cinta, mbuntutin kemungkinan perselingkuhan, make-over rumah, menangin rumah, ngasih duit lalu dikejar waktu buat menghabiskannya dan masih banyak lagi. Dari sekian banyak konsep reality TV shows yang 'dijejelin' ke penonton, kadang-kadang gw ngebatin "ini beneran apa gak sih?are things really that sad?". Gimana gak menyedihkan, ada orang-orang yang dengan sadar dan sukarela mengekspos dirinya dan, well for instance, hubungan cintanya di TV untuk konsumsi seantero negeri cuma pada akhirnya buat dimaki2 sama pacarnya, disiram air, jambak2an sama 'gak tahu siapa gak penting juga gw tahu'.

salah satu temen gw pernah bilang, "Well, Ries, it's all simply about entertainment, being entertained and how to entertain others. And perhaps,some people do think it [Reality TV show] as the last option in finding honesty in their lives."

Gw bilang: "Maybe, but everything seem to be a bit blurry and just simply sad, don't you think, and why on earth do you have to find honesty at the mercy of being exploited and humiliated?"

Kita berdua diem. Gak tahu mau ngerespon gimana lagi. I have dropped the thought of "[Bad] Reality TV shows are actually pathetic" a long time ago. Until the last couple of week, it bothers me again.

Mungkin gw termasuk penonton pasif dan telat banget untuk 'ngeh' kalau sekarang banyak banget reality TV shows yang menfokuskan pada relationships. Entah itu hubungan keluarga, hubungan percintaan, hubungan cinta lama, dan hubungan cinta terlarang (baca: selingkuhan atau backstreet). Lalu, ada kata kunci lainnya "Klien", sebagai orang yang meminta 'jasa' si reality TV shows untuk 'membantu, menginvestigasi dan syukur2 mencarikan solusi atau paling enggak kebenaran' dari masalah yang dihadapi si "klien". Okeeee, gw pikir hal-hal tersebut standar.Sampai akhirnya gw memutuskan untuk nonton beberapa reality TV shows ini. Gw udah imun dengan pikiran-pikiran "ini beneran apa gak ya?", karena buat gw jadi gak penting mikir kayak gitu while it seems I'm the only one who believes some plots are just fake.

Then it hits me, the one fact that once again drags me to the "is this even real" question..gw ngeh hampir di setiap adegan dimana si 'target' akhirnya tahu kalau dia diinvestigasi, dibuntutin, trus melihat sorotan dari banyak kamera (dan orang2 tentunya), dia akan bilang 'Apa apaan ini?!". Biasanya kalimat ini terucap dengan penuh emosi, mata melotot sambil menunjukan jari ke arah "klien", presenter dan kamera yang menyorot mereka semua (hal-hal diluar ini gak penting juga buat dijabarkan). Tapi entah kenapa gw ngerasa, ada aja gestures yang terasa palsu.Tone bicara dan tatapan mata seakan dibikin seolah2 si target emang beneran 'emosi'.And I mean c'mon if you were busted doing something that you don't want people to know yet the entire country is watching you, will "APA APAAN ini?!?!" be the one only sentence that come out off your mouth???

Despite the confusing facts which I just mentioned, I am [still] trying to convince myself that it's all about entertainment (damn it!).

note:ada usulan mungkin buat kalimat 'kegap' lain?mungkin "IIIIYYH INI GW MASUK TV YA?NASIONAL YA?IIIYH APAAAAN SIIIEEYH?!?!?!?!" (LOL)

cheers,

-rie